OtomotifNews.com – Di bawah langit kelabu Silverstone, drama besar kembali menampar keras Francesco Pecco Bagnaia. Dua kali juara dunia MotoGP itu mengalami akhir pekan yang jauh dari kata manis—bahkan pahit pun terasa terlalu ringan.
Minggu itu seharusnya menjadi titik balik. Pecco start dengan penuh percaya diri, menempel ketat Fabio Quartararo, dan tampak seperti serigala lapar yang menanti celah untuk mencabik. Tapi semesta MotoGP punya agenda lain. Bendera merah dikibarkan sebelum lap ketiga berakhir, dan momentum yang mulai terbangun pun terputus begitu saja.
“Aku nyaman saat start pertama. Aku ada di belakang Fabio, siap bertarung hingga garis akhir,” ucap Pecco dengan sorot mata penuh rasa tidak percaya. Tapi saat restart, semuanya berubah.
Ia hanya mengganti ban belakang, namun hasilnya justru seperti kutukan: kehilangan grip, akselerasi kacau, motor liar seperti enggan ditunggangi juara. Tikungan demi tikungan menjelma labirin bencana. Hingga di Tikungan 7, nasib menuntaskan cerita—Pecco tergelincir, tersungkur bersama mimpinya hari itu.
“Aku tidak percaya ini hanya soal keberuntungan. Sejak awal musim, kami tersesat dalam labirin masalah,” keluhnya. Sirkuit Inggris terbukti bukan hanya ujian untuk nyali, tapi juga untuk mesin GP25 yang nyaris tak berdaya dibanding saudaranya yang lebih tua, GP24.
“Jujur saja, kalau bukan karena kerusakan motor Fabio, mungkin tak ada Ducati di podium. GP24 bekerja lebih baik sepanjang akhir pekan. Alex dan Marc jatuh, dan restart seperti itu jelas tak membantu siapa pun,” ujar Pecco, seolah mencoba menata puing-puing logika atas kekacauan yang terjadi.
Namun di tengah kegundahan itu, muncullah kalimat yang mencuri perhatian—dan mengungkapkan sebuah twist yang mengejutkan:”Marc sangat kuat… karena dia berhasil menyembunyikan masalah kami.”
Seketika, narasi berubah. Masalah besar ternyata bukan hanya pada motor—melainkan pada bagaimana sang legenda lama, Marc Márquez, mampu menari di atas penderitaan teknis yang sama. Seakan Marc adalah bayangan dari apa yang seharusnya Pecco capai… bila ia mampu menjinakkan mesin penuh ego itu.
“Aku tahu potensiku. Jika aku menemukan feeling yang tepat, aku bisa menang,” ucapnya dengan nada yang bukan lagi penuh keyakinan, tapi penuh beban.
Dan seperti ironi yang sempurna, Pecco mengakui: kadang, 100% usahamu hanya cukup untuk finis keenam. Kadang, menjadi juara bukan hanya tentang skill, tapi juga tentang mesin, momentum, dan… misteri kecil yang tak selalu bisa dijelaskan dengan logika teknis.
Di Silverstone, Pecco tak hanya kehilangan poin. Ia kehilangan kendali atas cerita yang coba ia tulis kembali. Tapi mungkin, justru dari sini, kisah kebangkitannya dimulai—karena dalam MotoGP, tragedi hari ini bisa saja menjadi kemenangan yang tertunda.
Penulis, Dendi Rustandi
More Stories
TransTRACK Kukuhkan Diri Sebagai Pilar Logistik Halal Regional: Jalin Aliansi Strategis Dengan Malaysia
Fabio Quartararo Ultimatum Yamaha: “Jika Proyek Ini Belum Siap, Saya Akan Gabung Proyek yang Sudah Siap”
Toprak Razgatlıoğlu Dikabarkan Pindah ke MotoGP Bersama Yamaha–Pramac